Miss Universe selama puluhan tahun dikenal sebagai ajang kecantikan paling bergengsi di dunia. Ia bukan sekadar kompetisi fisik, melainkan panggung diplomasi budaya, representasi perempuan, dan narasi empowerment yang terus diperbarui mengikuti zaman. Namun edisi Miss Universe 2025 justru mencatat sejarah berbeda. Alih-alih dikenang karena gaun ikonik atau jawaban cerdas finalisnya, ajang ini menjadi sorotan karena drama internal, kontroversi manajemen, tekanan mental peserta, dan perdebatan besar tentang masa depan dunia pageant.
Kontroversi Miss Universe 2025 membuka kotak pandora tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik panggung megah yang selama ini hanya kita lihat lewat layar kaca. Cerita tentang ketidakadilan, favoritisme, eksploitasi emosi, hingga standar ganda kembali mencuat, kali ini dengan suara para kontestan sendiri yang tidak lagi memilih diam.
Artikel ini mengulas secara mendalam bagaimana Miss Universe 2025 berubah menjadi isu sosial global, mengapa generasi muda bereaksi keras, dan apa artinya bagi industri pageant di masa depan.
Miss Universe di Persimpangan Zaman
Dalam satu dekade terakhir, dunia pageant berusaha keras beradaptasi dengan perubahan nilai sosial. Narasi “beauty with a purpose” diperkuat, isu keberagaman dirangkul, dan citra perempuan ideal dipersempit ulang agar lebih inklusif. Miss Universe menghapus batasan tinggi badan, membuka ruang bagi ibu, perempuan menikah, bahkan kontestan dari latar belakang non-konvensional.
Namun Miss Universe 2025 menunjukkan bahwa perubahan di permukaan tidak selalu diikuti reformasi di balik layar. Di tengah klaim inklusivitas, muncul cerita tentang tekanan ekstrem, manajemen yang tidak transparan, dan praktik yang justru bertentangan dengan nilai empowerment yang dikampanyekan.
Kontroversi Meledak dari Dalam: Suara Para Kontestan
Drama Miss Universe 2025 mulai memanas ketika sejumlah kontestan secara terbuka berbagi pengalaman mereka kepada media internasional. Untuk pertama kalinya, narasi tidak lagi sepenuhnya dikendalikan oleh penyelenggara.
Beberapa isu utama yang diungkap antara lain:
- Tekanan psikologis yang berlebihan
- Jam latihan dan agenda yang melelahkan tanpa jeda pemulihan
- Minimnya dukungan kesehatan mental
- Ketidakjelasan aturan dan perubahan mendadak
- Dugaan favoritisme terhadap negara tertentu
Para kontestan menggambarkan situasi di mana mereka dituntut selalu tampil sempurna, ramah, dan “siap kamera”, bahkan ketika kondisi fisik dan mental mereka sedang tidak baik-baik saja. Bagi banyak Gen Z, cerita ini terasa relevan karena mencerminkan budaya hustle dan performativitas ekstrem yang juga mereka alami di dunia kerja dan media sosial.
Favoritisme dan Transparansi yang Dipertanyakan
Salah satu tuduhan paling sensitif adalah soal favoritisme. Beberapa kontestan dan pengamat pageant menilai bahwa sejak awal kompetisi, arah panggung sudah “dibaca”. Finalis tertentu dianggap mendapat sorotan berlebihan, waktu tampil lebih panjang, dan narasi personal yang terus diangkat.
Dalam dunia pageant, isu ini bukan hal baru. Namun di era digital, perbedaan kecil pun cepat dianalisis publik. Potongan video, perbandingan durasi kamera, hingga analisis bahasa tubuh juri beredar luas di media sosial.
Yang membuat Miss Universe 2025 berbeda adalah reaksi terbuka para kontestan. Beberapa dari mereka menyatakan kebingungan terhadap sistem penilaian dan minimnya komunikasi dari panitia. Transparansi yang selama ini diklaim justru terasa kabur.
Tekanan Mental: Cantik, Kuat, dan Tetap Tersenyum
Di balik gaun mahal dan tata panggung megah, Miss Universe 2025 memperlihatkan sisi gelap dunia pageant: tekanan mental yang intens. Beberapa kontestan mengaku mengalami kecemasan, kelelahan emosional, hingga kehilangan kepercayaan diri.
Masalahnya bukan hanya tuntutan fisik, tetapi ekspektasi emosional. Kontestan diharapkan:
- Selalu positif
- Tidak mengeluh
- Menjadi simbol inspirasi
- Menyembunyikan kelelahan
Bagi Gen Z yang semakin vokal soal kesehatan mental, standar ini dianggap tidak realistis dan berbahaya. Banyak yang mempertanyakan, bagaimana mungkin ajang yang mengklaim empowerment justru menormalisasi tekanan psikologis ekstrem.
Media Sosial: Dari Alat Promosi Jadi Senjata Kritik
Jika di masa lalu drama pageant sering teredam, Miss Universe 2025 terjadi di era media sosial yang hiperaktif. TikTok, X, dan Instagram menjadi ruang utama diskusi, kritik, dan solidaritas.
Potongan wawancara kontestan, reaksi emosional di balik panggung, hingga analisis penggemar pageant menyebar luas. Tagar terkait Miss Universe 2025 sempat trending, bukan karena kemegahan, tetapi karena kontroversi.
Media sosial mengubah dinamika kekuasaan:
- Kontestan punya suara langsung ke publik
- Penyelenggara sulit mengontrol narasi
- Penonton tidak lagi pasif
Bagi Gen Z, ini adalah contoh bagaimana transparansi dipaksakan oleh teknologi, bukan diberikan secara sukarela oleh institusi.
Dunia Pageant vs Nilai Gen Z
Kontroversi Miss Universe 2025 juga memperlihatkan benturan nilai antara industri pageant lama dan generasi baru. Gen Z tumbuh dengan nilai:
- Autentisitas
- Keadilan
- Kesehatan mental
- Transparansi
Sementara dunia pageant masih membawa warisan hierarki, formalitas, dan standar performa tinggi. Ketika dua dunia ini bertemu tanpa penyesuaian serius, konflik menjadi tak terhindarkan.
Banyak Gen Z mempertanyakan relevansi pageant jika:
- Suara peserta tidak didengar
- Tekanan mental diabaikan
- Narasi empowerment hanya slogan
Isu Gender dan Eksploitasi Emosi
Kontroversi Miss Universe 2025 juga memicu diskusi lebih luas tentang eksploitasi emosi perempuan. Dunia pageant sering meminta peserta untuk menceritakan trauma, perjuangan hidup, dan luka personal sebagai bagian dari narasi inspiratif.
Masalah muncul ketika cerita tersebut:
- Tidak sepenuhnya sukarela
- Digunakan sebagai materi hiburan
- Tidak diimbangi dukungan psikologis
Banyak kritik menyebut praktik ini sebagai bentuk eksploitasi emosional yang dibungkus kemasan motivasional. Di era kesadaran sosial yang meningkat, pendekatan ini mulai dianggap usang dan tidak etis.
Reaksi Penyelenggara: Klarifikasi atau Damage Control?
Pihak Miss Universe Organization merespons kontroversi dengan pernyataan resmi yang menekankan komitmen terhadap kesejahteraan kontestan dan nilai inklusivitas. Namun bagi sebagian publik, respons tersebut dinilai defensif dan kurang menyentuh akar masalah.
Tidak ada audit terbuka, tidak ada penjelasan rinci soal sistem penilaian, dan tidak ada rencana konkret soal dukungan kesehatan mental. Bagi Gen Z, ini terlihat seperti damage control klasik, bukan upaya perubahan struktural.
Citra Miss Universe di Mata Dunia
Akibat kontroversi ini, citra Miss Universe ikut terpengaruh. Sponsor, penggemar, dan publik mulai mempertanyakan apakah ajang ini masih relevan di era sekarang.
Sebagian berpendapat bahwa Miss Universe perlu:
- Reformasi manajemen
- Transparansi sistem penilaian
- Dukungan kesehatan mental profesional
- Ruang aman bagi kontestan untuk bersuara
Tanpa perubahan nyata, risiko terbesar adalah kehilangan kepercayaan generasi muda, yang selama ini menjadi target audiens utama.
Pelajaran Besar dari Miss Universe 2025
Drama Miss Universe 2025 memberikan pelajaran penting, bukan hanya bagi dunia pageant, tetapi bagi industri hiburan secara umum:
- Empowerment tidak bisa hanya jadi slogan
- Transparansi adalah tuntutan, bukan bonus
- Kesehatan mental harus jadi prioritas
- Generasi muda tidak bisa lagi dibungkam
Ajang sebesar Miss Universe kini berada di bawah pengawasan publik global yang kritis dan melek media.
Masa Depan Dunia Pageant: Berubah atau Ditinggalkan?
Pertanyaan terbesar pasca Miss Universe 2025 adalah: apakah dunia pageant mampu berubah? Atau ia akan perlahan ditinggalkan oleh generasi baru yang menuntut nilai lebih manusiawi?
Jika reformasi dilakukan secara serius, pageant masih bisa menjadi ruang representasi dan inspirasi. Namun jika kontroversi terus berulang tanpa evaluasi nyata, dunia pageant berisiko menjadi simbol industri yang gagal beradaptasi.
Penutup: Ketika Glamor Tidak Lagi Cukup
Miss Universe 2025 menjadi bukti bahwa di era Gen Z, glamor saja tidak cukup. Publik ingin kejujuran, keadilan, dan empati. Dunia pageant kini diuji bukan oleh kamera, tetapi oleh nilai.
Kontroversi ini mungkin menyakitkan bagi penyelenggara, tetapi juga membuka peluang refleksi besar. Apakah Miss Universe akan belajar dan bertransformasi, atau tetap bertahan dengan pola lama?
Satu hal yang pasti: penonton sudah berubah. Dan dunia pageant harus ikut berubah, atau bersiap kehilangan relevansi.

